Home

Donasi Login Register
Artikel
Muslimin
pada 25 August 2023 | Kelas Kemerdekaan

MENJADI GURU AKTIF MENULIS

MENJADI GURU AKTIF MENULIS

Muslimin, S.Th.I., M.Pd.I.

SMP Islam Az-Zahrah DUA Palembang

musliminhaiz@gmail.com

 

           

Kalimat menjadi guru aktif menulis merupakan penjelmaan diri sebagai sebuah pilihan untuk menjadi. Ketika seorang guru tidak menjadikan dirinya untuk menjadi penulis, maka sebagian dari esensi dirinya sebagai guru menghilang. Guru mulia karena menulis. Tidakkah aktivitas guru berkaitan dengan pembelajaran, pembelajaran terjadi dikarenakan ada aktivitas literasi dan numerasi. Menulis merupakan bagian kecil dari kecakapan literasi.

Kecakapan abad ke-21 yag diperlukan dalam menghadapi kehidupan harus memiliki kecakapan berpikir kritis dan memecahkan masalah, komunikasi, kreativitas dan inovasi, serta kolaborasi. Syarat untuk mewujudkan kecakapan hidup abad ke-21 tersebut adalah memiliki kemampuan literasi bagi murid. Maksud dengan literasi adalah kemampuan seseorang untuk membaca, menulis, berbicara, menghitung, dan memecahkan masalah. Diantara sekian literasi adalah literasi baca tulis. Kalau siswa saja dituntut untuk berliterasi baca tulis, maka bagaimana bisa terjadi kalau gurunya tidak memiliki potensi literasi baca tulis.

Rosyidin di dalam sebuah pelatihan yang diliput oleh PWMU.co kelemahan guru dalam menulis di Indonesia karena dipengaruhi oleh budaya. Budaya Indonesia adalah budaya tutur bukan budaya menulis. Bagi orang Indonesia ketika ia menulis pun masih ada nuasa bertutur. Hal ini dapat kita lihat dan baca pada status-status media sosial yang diposting.

Ternyata menurut Rosyidin mengapa masyarakat Indonesia tidak memiliki budaya membaca dan menulis karena disamping budaya  tutur yang terbangun, masyarakat Indonesia juga konsumtif bukan inventor atau inovator.

Hal ini bertolak belakang dengan ajaran yang mereka anut. Dari data kependudukan berdasarkan data Global religious futures, jumlah umat muslim Indonesia pada 2020 diperkirakan mencapai 86,39% dari total penduduk. Tentu saja dari data itu dapat dimengerti bahwa secara mayoritas banyak guru yang muslim. Tulisan ini tidak sedang membahas tentang golongan, tetapi data ini dapat dijadikan sebagai acuan mengapa umat muslim terbesar di dunia, tetapi literasi baca tulis belum menjadi kebiasaan yang mendominasi.

Saya pernah mendapatkan informasi bahwa negara Israel itu setiap tahun menghasilkan banyak sekali guru besar, hal ini dapat dijadikan indikator bahwa mereka sudah terbiasa dengan literasi baca tulis karena untuk mencapai pada titik itu tidak hanya baca tulis, tapi melalui penelitian secara kritis. Sementara kita tahu bagaima betul posisi negara Israel yang sarat dengan konplik.

Meminjam istilah yang digunakan oleh Amin Abdullah, normatif dan historis. Secara normatif wahyu pertama kali itu mengajarkan baca, bahkan kata yang di gunakan pada Q.S. Al-‘Alaq adalah fi’il amr (Iqro’) yang memiliki arti perintah (Bacalah). “Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan”

Bahkan pada ayat ketiga kata Iqro’ terulang lagi sebagai penguat, bahwa orang yang memiliki aktivitas membaca merupakan bentuk mulianya seorang hamba. Pada ayat keempat secara normatif membangunkan budaya tulis menulis “yang mengajarkan manusia dengan pena”, pena merupakan simbol tulis-menulis.

Dari sisi historisitas ulama-ulama terdahulu memiliki budaya literasi yang sangat luar biasa, bahkan sampai hari ini kita dapat menyaksikan literatur-literatur klasik yang digoreskan secara manual dan berjilid-jilid seperti kitab tafsir Ibn Kasir, tafsir Ath-thabari, Tafsir Al-washit dan seterusnya ini merupakan contoh karya-karya yang dituliskan oleh para ulama Muslim terdahulu.

Dari sisi membaca, Imam Nawawi pernah mengkhatamkan Al-qur’an delapan kali dalam waktu sehari semalam. Ada yang khatam setiap hari diantaranya Usman bin Affan, Tamim Addarimi, Mujahid, Imam syafi’i. Bahkan diantara mereka tidak hanya mampu membaca, tapi mampu menghapal.

Sungguh luar biasa khazanah literasi dalam islam baik secara normatif maupun secara historis. Maka dapat disimpulkan seharusnya orang Indonesia memiliki budaya literasi yang kental, karena secara normatif dan historis sangat mendukung untuk memiliki potensi literasi baca-tulis.

Budaya literasi baca-tulis menggunakan istilah Amin Abdullah, seperti dua sisi mata uang. Uang itu akan memiliki nilai, karena kedua sisinya saling melengkapi. Guru dan menulis juga bagaikan dua sisi mata uang. Guru yang tidak menulis berarti hilang nilainya karena ada satu sisi dari dirinya yang menghilang.

Riak-riak menulis sejak terjadinya gejolak pandemi covid-19 dari pengamatan penulis sudah mulai terjadi. Banyak komunitas-komunitas, khususnya komunitas guru menulis dan kebijakan-kebijakan pemerintah yang mulai “memaksa” guru untuk menulis. Termasuk penulis sendiri sejak terjadinya pandemi covid 19 sudah mulai menulis, ada 13 buku mandiri dan ada 17 antologi yang ditulis bersama berbagai komunitas. Padahal penulis menyadari belum memiliki kemampuan yang memadai untuk menulis.

Sebagaimana tulisan Cahyadi Takariawan dengan judul “Melawan Keterbatasan” dalam seri Spirit Menulis dari Tokoh Dunia.

Sara Novic seorang guru menulis tentang pengalaman pribadi sebagai penyandang tuna rungu. Novic menulis novel pada tahun 2015 berjudul “Girl At War”. Tanpa bisa mendengar sesuatu, namun ia mampu menulis dengan apik.

Di Indonesia, kita mengenal Muhammad Zulfikar Rakhmat. Ia terlahir dengan asfiksia neonatarum, yakni kekurangan oksigen pada otak yang menyebabkan tidak bisa bicara lancar dan kesulitan menggunakan tangannya untuk sejumlah aktivitas. Zulfikar kini menjadi ilmuwan dan penulis di berbagai media nasional bahkan internasional. Ia lulus master dan doktor dengan nilai sangat baik di Manchester University Inggris.

Kita juga mengenal Hellen Patraliza, seorang guru dan ibu rumah tangga di Palembang. Ia menderita Hemiparesis, yaitu kelemahan atau kelumpuhan anggota tubuh sebelah kanan. Tangan kanannya sulit digerakkan. Keseimbangan tubuhnya juga terganggu. Namun ia mampu menulis buku setebal 320 halaman hanya dalam waktu satu bulan. Buku berjudul “Self Love” itu ditulis hanya dengan tangan kiri.

Mereka semua dikaruniai keterbatasan fisik, namun tidak mengalami keterbatasan mental. Mereka memiliki kesehatan mental untuk tetap produktif menulis. Begitulah tulisan Cahyadi Takariawan.

Mengapa guru harus menulis?

Menurut Rosyidin “Ilmu yang ditulis lebih mengikat dibanding ilmu yang disampaikan secara verbal” barangkali hal yang senada juga yang pernah disampaikan oleh Confucius "What I hear, I forget. What I see, I remember. What I do, I understand." Xunzi (340 - 245 BC) This Confucian scholar makes a strong point that when it comes to learning. Hearing is not as good as seeing, seeing is not as good as experience, and true learning is only evident when experience produces an action.” Budaya tutur ternyata memberikan dampak kepada murid kita dalam pembelajaran tidak memiliki pemahaman yang cukup melekat.

Disamping itu ada beberapa hal mengapa guru perlu menulis, diantaranya untuk mengekspresikan ide, kenaikan pangkat, reputasi, amal jariyah, dan insentif.

 Orang Jawa kata Rasyidin mengenal istilah ‘Jeneng dulu baru jenang‘. “Jadi kita harus membangun nama dengan membuat karya yang magnificient (luar biasa) sehingga dikenal banyak orang, diakui kepakarannya, pada akhirnya nanti rezeki akan mengikuti.

Kendali pada tulisan ini untuk memberi semangat,  mengutip spirit Charles Dickens; “Tidak ada yang tidak mungkin” maka jika kita sudah memiliki niat untuk bergerak, maka semuanya menjadi mungkin.

Mungkinka kalau kita sudah tergerak untuk melakukan sesuatu menjadi lebih baik, yakinkan bahwa kita mampu bergerak bersama-sama, karena dengan kita melakukan pergerakan bersama, semuanya akan mudah dan cepat untuk mencapai tujuan, lalui rute-rute yang telah kita petakan, sehinggga kita terus mampu menggerakkan.

Rasulullah SAW telah memberikan teladan yang baik dalam melakukan pergerakan. Yaitu keteladanan dalam berucap dan action “menulis”. Artinya kita  harus mulai dari diri sendiri (ibda’ binafsik) lalu berkembang kepada keluarga terdekat kita yang berada di keluarga, sekolah, dan masyarakat. Sesuai apa yang dikatakan oleh Ki Hadjar Dewantara (KHD) kita harus mampu memperindah diri untuk melakukan sesuatu yang bermanfaat, sehingga berdampak kepada bangsa dan dunia. Menulis salah satu cara guru membentuk peradaban.

Menulis itu mudah kata Helvy Tiana Rosa, mulailah menulis dari apa yang kita lihat, apa yang kita alami, apa yang kita rasakan, lama-lama kita akan terbiasa karena kita sudah mulai membiasakan diri untuk menulis.

Pergerakan itu akan kita mulai dari bagaimana kita memahami nilai dan peran guru penggerak. Nilai menurut  Rokeach dalam (Abdul H ; 2015) merupakan keyakinan sebagai standar yang megarahkan perubahan dan standar pengambilan keputusan terhadap objek atau situasi yang sifatnya sangat spesifik. Nilai berfungsi sebagai standar. Maka seoarang guru harus memahami nilai-nilai dari seorang guru penggerak.

Kelima nilai guru penggerak yang saya singkat dengan MR. KIB (Mandiri, Reflektif, Kolaboratif, Inovatif, dan berpihak pada murid).  Nilai-nilai ini harus dilestarikan dan dikembangkan dalam diri seorang guru penggerak. Mengguna istilah Qurash Syihab “way of life” sehingga peran guru penggerak itu selalu dipayungi oleh kelima nilai guru penggerak.

Guru penggerak harus mandiri, karena dengan kemandirian semuanya akan lepas dari ketergantungan. Setiap yang dilakukan akan bernilai. Bahkan sesuatu yang keliru pun akan menjadi nilai karena guru penggerak memiliki nilai lain yaitu reflektif. Mandiri itu tidak harus menunggu perintah, karena menulis itu merupakan kemerdekaan seseorang dalam berpikir dan berkarya.

Reflektif merupakan jalan bagi guru penggerak untuk sadar bahwa proses yang dilakukan tidak pernah menemukan kesempurnaan. Bagi guru penggerak kesempurnaan terletak pada perubahan. Perubahan-perubahan harus dilakukan dengan bersama dan kebersamaan. Dalam nilai guru penggerak dikenal dengan istilah kolaboratif.

Kolaboratif merupakan rute untuk membangun hubungan kinerja yang positif. Trilogi pendidikan harus mampu berkerja sama. Sehingga tercapai profil pelajar pancasila. Guru penggerak harus inovatif. Gagasan-gagasan baru akan selalu berkembang. Melalui media menulis inilah akan kekal apa yang dirancang oleh guru.

Dengan demikian, pupuk terus minat literasi baca tulis, yakinkan setiap guru memiliki kemampuan untuk menulis. Menulis, menulis, dan menulislah sehingga dengan keyakinan itu kita dapat meramu kata demi kata yang memiliki power, ingat ide bukan ditunggu tapi “dituangkan” dalam bentuk tulisan. Selamat merangkai kata!

 

 

 

REFERENSI

Cakorda Agung Anre Juniana, Materi Instruktur Nilai-nilai dan Peran Guru Penggerak, Program guru penggerak: 16/11/2021.

Diah S.Rajasa, Materi Instruktur Refleksi Pemikiran KHD, Program guru penggerak: 10/2021

http://www.databos.katadata.co.id (diakses 06.05 WIB, Sabtu, 22 Januari 2022.

http://www.episcopalcollegiate.org

https://pwmu.co/223848/01/17/guru-menulis-jeneng-dulu-baru-jenang/amp/

https://ruangmenulis.id/spirit-menulis-dari-tokoh-dunia-15/

https://sekolah.penggerak.kemdikbud.go.id/gurupenggerak/

https://www.birulangit.id/2019/10/quote-quote-yang-menginspirasi-agar.html

Sandi Budi Irawan dkk, Profil Guru Sekolah Dasar, Kemendikbud Dirjen Guru dan Tenaga Kependidikan direktorat Guru dan Tenaga Kependidikan Pendidikan Dasar. Jakarta. 2020.

 

BIOGRAFI PENULISDescription: C:\Users\ACER\Downloads\WhatsApp Image 2022-01-24 at 10.11.01.jpeg

Namaku Muslimin terlahir di Desa Ngulak Sanga Desa Musi Banyuasin pada 01 April 1979. Setelah usai menempuh pendidikan sekolah dasar terus mengasah dan menggali potensi melalui Pondok Pesantren Madrasatul Qur`an Tebuireng Jombang dapat menuntaskan Madrasah Tsanawiyah (MTS) dan Madrasah Aliyah Keagamaan (MAK). Sempat jadi pengamen di kampung Ingris Pare Kediri, karena kebutuhan hidup dan kesempatan untuk berkulya di Mesir pupus karena kesempatan itu tidak didukung oleh keluarga. Namun tetap berusaha mencari beasiswa. Kemudian melanjutkan studi di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Semester 2 saya menikah karena beasiswa saya cukup untuk menikah. Pengabdian pada masyarakat terus berlanjut berharap ilmu yang didapatkan tidak seperti pohon yang tidak berbuah. Sampai ada tawaran beasiswa sehingga dapat melanjutkan S2 di IAIN Raden Fatah Palembang. Beberapa kali mendapat beasiswa S3 namun belum jodoh karena SIKON.

 

 

Bagikan artikel ini :

(0) Komentar

Silakan login untuk dapat berkomentar!

Artikel Lainnya

Berbagi Praktek Baik : Bagaimana menyusun Projek Penguatan Profil Pelajar Pancasila di Sekolah
"Membangun Ekosistem Sekolah Berbudaya Positif Melalui Hari Guru Nasional 2023"
SOSIALISASI KODE ETIK (DeTik)
guru inovatif dan inspiratif
Document