Home

Donasi Login Register
Artikel
Nunung Kusumawati
pada 26 June 2023 | Kelas Kemerdekaan

Smaha Traditional Festival (STF): Harmonikan Digital dan Tradisional

 

Smaha Traditional Festival (STF): Harmonikan Digital dan Tradisional

Nunung Kusumawati

 

 

“Gimana cara merangkainya, Ma’am?”

“Oh, kamu belum bisa? Don’t worry, come! sini Ma’am ajarin.”

 

Masih segar dalam ingatan saya, percakapan antara saya dan Azell, murid saya saat kami akan merangkai karet gelang yang kami jadikan tali untuk bermain lompat tali. Tidak hanya Azell, ternyata banyak juga anak-anak pengurus OSIS di sekolah kami, SMA Islam Hidayatullah Semarang (SMAHA) juga belum tahu caranya merangkai karet gelang. Setelah saya ajari, anak-anak pun beramai-ramai merangkainya. Suasana saat itu sangat meneyenangkan apalagi mereka pandai membuat joke yang sering mengundang gelak tawa.

 

Sekolah kami adalah salah satu SMA Islam swasta favorit di kota Semarang. Dalam keseharian, murid-murid kami belajar di kelas menggunakan gawai (iPad) karena memang sekolah kami adalah sekolah digital. Hampir 90 persen kegiatan murid di sekolah menggunakan paperless. Dengan semangat mengurangi konsumsi kertas, tahun 2019 lalu sekolah kami mencanangkan sebagai sekolah digital. Dalam proses belajar mengajar kami mengguanakan iPad dengan sumber belajar dari beragam aplikasi dan fitur di dalamnya. 

 

Dalam hati saya merasa bersyukur sekaligus bangga karena sekolah kami bisa mengaplikasikan pembelajaran berbasis teknologi informasi dengan baik. Di era hari ini, apa sih yang tidak menggunakan teknologi? Apalagi beberapa bulan sekolah kami resmi menjadi sekolah berbasis digital, pandemi COVID-19 datang di Indonesia. Semua pembelajaran beralih ke moda daring atau pembelajaran jarak jauh. Tentu saja sekolah kami tidak banyak mengalami kesulitan karena baik guru maupun murid sudah memiliki skill yang cukup serta sarana yang memadai untuk melaksanakan pembelajran daring. Orang tua murid pun merasa puas dengan pelayanan sekolah.  

 

Namun, sejujurnya ada keresahan dalam hati saya, manakala ketika melihat murid-murid saya sebagian besar waktunya di sekolah tidak bisa lepas dari gawai baik iPad maupun telpon seluler. Saya yakin, saat di rumah pun sebagian besar dari mereka juga melakukan hal yang sama. 

 

Fasilitas gawai yang ada di tangan dan kesempatan akses yang sangat banyak, membuat anak-anak makin larut dan asyik mengoperasikannya baik karena motivasi belajar maupun hiburan. Game online paling digemari anak laki-laki dan beragam serial film domestik hingga drama Korea bagi para perempuan. Tidak bijaksana jika saya menyalahkan anak-anak ini karena mereka memang tumbuh dan berkembang dalam dunia digital, selain itu fasilitas, kesempatan, dan ekosistem sehari-hari juga mendukung, khusunya di sekolah. Yang akhirnya terjadi adalah jarak kehidupan anak-anak (dunia digital) dengan lokalitas atau dunia tradisional semakin menjauh. Ada rasa bersalah dalam hati saya, mungkin saya atau sistem sekolah memiliki andil dalam menjauhkan  anak-anak dengan indahnya warisan leluhur Bangsa Indonesia, yakni hal-hal yang berhubungan dengan lokalitas atau sebut saja kearifan lokal. Apalagi dalam Kurikulum Merdeka sedang digaungkan agar peserta didik memiliki karakter profil pelajar Pancasila, yang salah satunya adalah karakter berkebhinekaan global, yakni peserta didik yang mampu mempertahankan budaya luhur, lokalitas, dan identitasnya dan tetap berpikiran terbuka dalam berintegrasi terhadap budaya lain. 

 

Keresahan ini pun saya sampaikan kepada beberapa teman guru di sekolah, dua diantara mereka adalah waka kesiswaan dan pembina OSIS. Mereka juga merasa prihatin dengan kondisi ini. Obrolan kamiemudian berujung dengan kesepakatan bahwa sebagai guru kita harus mengenalkan mereka dengan hal-hal al-hal yang dekat lokalitas/kearifan lokal agar mereka tidak kehilangan identitasnya.

 

Belum puas diskusi dengan teman-teman guru di sekolah, saya pun “curhat” dengan suami di rumah. Tanpa sengaja suami saya bercerita bahwa ia akan menghadiri acara festival permainan tradisional di Surakarta, Jawa Tengah. Tiba-tiba seperti ada wangsit datang, di kepala saya. AHA!… Yes! I got an idea. Permainan tradisional…

 

Keesokan harinya di sekolah, saya menyampaikan ide tersebut kepada teman saya, waka kesiswaan dan pembina OSIS. Tidak tahu kenapa diantara kami seperti ada magnet yang menguatkan. Waka kesiswaan menyampaikan agar saya dan teman saya, pembina OSIS yang akan meng-handle proyek ini. Singkat cerita kami membuat konsep bersama. Tujuan proyek ini kami tetapkanuntuk memperkenalkan permainan tradisonal kepada seluruh murid. Selanjutnya untuk teknisnya kami akan memberdayakan pengurus OSIS sebagai pelaksana di lapangan, dengan demikian mereka juga akan memperoleh pengalaman dalam menyelenggarakan sebuah even.

 

Hari Sabtu, saat libur kami berdua dan seluruh pengurus OSIS berkumpul untuk mendiskusikan hal ini lebih lanjut. Pengurus OSIS menyambut dengan senang hati dan akhirnya kami sepakat untuk mengadakan acara yang kami beri nama STF (Smaha Traditional Festival). 

 

Selanjutnya saya sebagai koordinator kegiatan bersama pembina OSIS berkolaborasi mendampingi pengurus OSIS dari tahap persiapan hingga refleksi. Hal pertama yang harus dikerjakan adalah penyusunan proposal kepada yayasan untuk pengajuan anggaran. Setelah mendapatkan persetujuan dari yayasan, OSIS mencari referensi untuk bekerjasama dengan komunitas penggiat permainan tradisional, karena kami belum pernah memiliki pengalaman menyelenggarakan even seperti ini. Gayung bersambut, akhirnya OSIS berhasil bekerjasama dengan KPOTI (Komite Permainan dan Olahraga Tradisional Indonesia) Jawa Tengah. 

 

Persiapan lainnya adalah mengonsep acara. Berdasarkan hasil diskusi bahwa acara intinya adalah permainan tradisional itu sendiri. Teknisnya akan disediakan dua belas stan permainan yaitu Gangsing, Ketapel,  Serok Mancung, Terompah Panjang, Panahan Tradisional, Egrang Bambu, Rangku Alu, Lari Balok, Sreng, Sirthok, dan Macanan. Setiap kelas nantinya akan mengunjungi stan-stan tersebut secara bergantian dan mendapatkan penjelasan dari tim KPOTI tentang jenis permainan tradisionalnya sekaligus memainkan permainannya untuk dilombakan antarkelas. Agar lebih meriah, setiap kelas juga diberi tantangan mengisi stan untuk menjual salah satu makanan tradisional Jawa Tengah. 

 

Setelah konsep matang, saatnya OSIS memberikan sosialisasi kepada seluruh civitas akademika tentang konsep acara STF. Wali kelas selanjutnya mendampingi murid-murid di kelasnya masing-masing untuk menyiapkan stan terbaiknya. Seluruh murid pun tampak gembira menyambut acara ini, apalagi sudah dua tahun mereka tidak pernah mengikuti even-even offline dikarenakan pandemi. 

 

Tibalah saatnya, Jumat, 27 Mei 2022 STF diselenggarakan. Dibuka oleh kepala sekolah serta sambutan oleh Kacabdin (Kepala Cabang Dinas Pendidikan) Wilayah I Provinsi Jawa Tengah, acara pun dimulai. Ragam tarian dolanan tradisional makin menyemarakkan suasana.   Para murid bergembira mengenakan pakaian batik dan baju adat Jawa Tengah menambah semangat mereka mempelajari dan menjajal tiap-tiap permainan tradisional. Tidak kalah hebohnya mereka dalam menyiapkan stan milikinya. Ada yang diberi nama stan Gareng, Nakula, Semar dan lain-lain sambil menjual aneka kudapan tradisional seperti lemper, senthiling, bakwan jagung, dhawet ayu, dan sebagainya. Tidak hanya itu, mereka juga akan menjelaskan kudapan tradisional yang mereka jual seperti tentang filosofinya, cara memasaknya, manfaatnya untuk kesehatan, dan lain-lain kepada juri ataupun pengunjung yang datang di stan mereka. 

 

Ada yang unik dari urusan membeli kudapan tradisional ini, yaitu pengunjung harus terlebih dahulu menukarkan uangnya ke panitia OSIS untuk ditukar menjadi uang kreweng. Kreweng, ini nantinya yang menjadi alat tukar pengganti uang, terbuat dari tanah liat yang dibakar sedemikian rupa dan dicetak bulat menyerupai koin. Setiap satu koin senilai Rp 5000.

 

Kami senang sekali melihat senyum kegembiraan setiap anak yang sangat menikmati acara tersebut. “Baru pertama kali ini saya tahu kalau ada mainan namanya Sirthok. Ternyata seru memainkannya.” Ujar Golda kelas XI IPS 1 yang juga diaminkan oleh teman-temannya setelah mereka memainkan Sirthok. Sekar yang mondar-mondir sibuk mewawancarai teman-temannya karena dia sebagai MC acara tersebut bersama Dhimas dan Novi pun tampak tidak punya rasa lelah. Anak-anak antusias dan gembira tertawa lepas ketika mencoba tiap-tiap permainan. Apalagi saat memainkan terompah panjang yang dikompetisikan dengan kelompok lain, suasana sangat seru. Beberapa orang tua juga datang berkunjung karena penasaran seperti apa kegiatannya di sekolah. Mereka juga tidak mau kalah untuk mencoba permainan tradisonal. Salah satu orang tua murid, Bunda Labitta mengungkapkan, “Subhanallah, meriah sekali acaranya. Saya jadi teringat masa kecil saya. Boleh ya, tahun depan diadakan lagi untuk dikompetisikan antarorang tua, pasti lebih heboh”. Para guru juga tidak mau ketinggalan, bahkan ada yang rebutan dengan murid untuk bermain egrang. Murid, guru, dan orang tua, semua senang, semua menikmati dolanan tradisional.

 

Di akhir acara ada penyerahan hadiah untuk kategori stan terbaik, kostum terbaik, pemain tradisonal terbaik, dan kelas terkompak. Masing-masing diambil Juara untuk kategori putra dan putri. Acara ditutup dengan bermain lompat tali secara kolosal. Semua pengunjung bermain lompat tali bersama-sama. 

 

Di hari berikutnya, kami mengadakan refleksi baik bersama OSIS maupun wali kelas bersama murid-murid di kelasnya masing-masing. Mereka menyampaikan rasa senang dan puas terhadap acara tersebut. 

 

Saya bersyukur kepada Tuhan, acara berjalan dengan lancar dan sukses. OSIS sebagai organisasi jadi semakin kaya pengalaman dalam menyelenggarakan kegiatan. Pun para murid telah mengalami pembelajaran yang menyenangkan sekaligus bermakna. Mereka mengenal dan mengetahui bahwa para leluhur telah meninggalkan warisan mulia yaitu kearifan lokal berupa permainan tradisional yang sarat dengan nilai filosofis yang tinggi. Kewajiban mereka adalah mencintai dan melestarikannya. Tantangannya adalah memang ada beberapa jenis permainan yang tidak bisa dimainkan oleh anak-anak setiap harinya mengingat peralatan dan space yang tidak memungkinkan. Di perkotaan, rumah sudah semakin kecil, halaman rumah juga semakin sempit. 

 

Di SMAHA, pada tahun ajaran baru 2022-2023 nanti, permainan tradisonal menjadi salah satu tema yang akan dilaksanakan sebagai pembelajaran penguatan proyek profil pelajar Pancasila untuk fase E, karena kami berkomitmen untuk memopulerkan permainan tradisional ini, serta menjadikannya sebagai salah satu ikon sekolah kami. Kami ingin digital dan tradisional berjalan harmoni melengkapi karakter murid-murid kami.

 

Bagikan artikel ini :

(0) Komentar

Silakan login untuk dapat berkomentar!

Artikel Lainnya

DIREKTUR DISKUSI MEMAHAMI DIFERENSIASI MURID MERDEKA
guru inovatif dan inspiratif
KOLABORASI MENJADI SALAH SATU KUNCI SUKSES GURU MERDEKA BELAJAR
Perlunya Guru Keluar Dari Zona Nyaman
Document