Home

Donasi Login Register
Artikel
Muhammad Rukhan Asrori, S.S.
pada 1 March 2023 | Kelas Karir

Perspektif Adat Nyadran Masyarakat Balongdowo dan Pengaruhnya dalam Era Modernisasi

Sidoarjo adalah nama sebuah kota yang dipimpin oleh seorang bupati yang terletak di provinsi Jawa Timur banyak sekali menampilkan berbagai ragam pesona bagi kalangan masyarakatnya sendiri yang terdiri dari budaya kesenian, kuliner dan juga kebiasaan peradaban masyarakatnya. Daerah ini termasuk menjadi daerah yang sangat berpotensi menghasilkan berbagai macam komoditas yang produktif, seperti ikan Bandeng dan udang.

Salah satu ragam budaya masyarakat Sidoarjo adalah budaya Nyadran yang tak sama dengan daerah-daerah lain di Indonesia. Istilah Nyadran sendiri muncul dari sebuah desa yang mampu menampilkan tradisi ini turun temurun dari sejak dulu. Menurut Pak Novan, salah satu warga Pekarungan RT 11 RW 04 Sukodono, Sidoarjo mengatakan bahwa Nyadran adalah wujud syukur para nelayan kepada sang pencipta dengan sedekah kepada laut atas hasil laut selama satu tahun. Beliau juga menambahkan bahwa tradisi ini pada awal mulanya telah dilakukan secara turun-temurun, tidak diketahui secara jelas kapan tradisi ini mulai dijalankan dikarenakan memang sejak dahulu telah dilakukan oleh masyarakat yang ada di Desa Balongdowo. Tradisi ini telah dipercaya oleh masyarakat dan dilaksankan setiap tahunnya menjelang bulan Ramadhan. Sebagai tambahan informasi mengenai hal tersebut Nyadran adalah serangkaian upacara yang dilakukan oleh masyarakat Jawa, terutama Jawa Tengah. Secara definisi berasal dari bahasa Sanskerta, sraddha yang artinya keyakinan. Nyadran adalah tradisi pembersihan makam oleh masyarakat Jawa, umumnya di pedesaan.

   Selain itu, Nyadran di Sidoarjo mempunyai ciri khas tersendiri. Kegiatan Nyadran dilakukan oleh masyarakat Balongdowo yang mata pencaharian sebagai nelayan kupang, pada siang harinya sangat disibukkan dengan kegiatan persiapan pesta upacara meski puncak acaranya pada tengah malam. Kegiatan ini dilakukan pada dini hari sekitar pukul 1 pagi. Orang- orang berkumpul untuk melakukan keliling. Perjalanan dimulai dari Balongdowo Kec, Candi menempuh jarak 12 Km. Menuju dusun Kepetingan Ds. Sawohan Kec. Buduran. Perjalanan ini melewati sungai desa Balongdowo, Klurak kali pecabean, Kedung peluk dan Kepetingan ( Sawohan ). Ketika iring-iringan perahu sampai di muara kali Pecabean perahu yang ditumpangi anak balita membuang seekor ayam. Konon menurut cerita  dahulu ada orang yang  mengikuti acara Nyadran dengan membawa anak kecil dan anak kecil tersebut kesurupan. Hal ini sudah jelas menjadi sebuah adat kepercayaan masyarakat yang masih kental dan diterapkan dari masa ke masa.

Oleh karena itu untuk menghindari hal tersebut masyarakat Balongdowo percaya bahwa dengan membuang seekor ayam yang masih  hidup ke kali Pecabean maka anak kecil yang mengikuti nyadran akan terhindar dari kesurupan/ malapetaka (sumber: https://keanekaragamanbudayasidoarjojawatimurindonesia.wordpress.com/2017/02/05/keragaman-budaya-di-sidoarjo/).

Selain itu, sebagai ungkapan rasa syukur kepada sang pencipta alam, tradisi ini akan tetap terus dilaksanakan oleh masyarakat Desa Balongdowo karena mereka sudah percaya dengan adanya hasil laut yang melimpah dimana mereka menyimpulkan bahwa ini adalah keberkahan bagi hidup mereka. Sehingga Nyadran bisa menjadi ritual yang otentik dan terbukti dalam kehidupan nyata. Percaya atau tidak, hanya mereka yang bisa mengetahui dan merasakan keberkahan tersendiri.

Adapun  tujuan dari adanya adat Nyadran yang sangat khas disuguhkan oleh masyarakat yaitu untuk ziarah di makam dewi sekardadu. Adanya tradisi ini mendapat manfaat sendiri bagi masyarakat nelayan Desa Balongdowo yaitu agar usaha kupang berjalan dengan lancar, sebab kupang itu berasal dari laut, hanya itu saja manfaat terbesar bagi masyarakat nelayan kupang (Khoirotun : 2019). Tentunya hal ini semakin jelas bahwa masyarakat Balongdowo telah memiliki identitas budaya khas kepercayaan yang memiliki pengaruh adat yang kuat. Terbukti kegiatan Nyadran sendiri masih tetap dilaksanakan setiap tahun oleh sejumlah masyarakat di kawasan desa-desa yang masih menganut adat tersebut, salah satunya Desa Balongdowo sebagai kawasan yang berpengaruh.

Seperti yang dilansir melalui wawancara dengan salah seorang warga lainnya yang berasal dari kampung Klurak RT 05 RW 02 Candi Sidoarjo, Johan Nur Rokhman beliau menjelaskan adanya Nyadran ini sudah lahir sejak tradisi Hindhu - Budha sejak abad ke - 15 dimana para walisongo menggabungkan tradisi tersebut dengan dakwahnya agar Agama Islam dapat dengan mudah diterima. Beliau juga menjelaskan secara kontekstual awal dari istilah Nyadran tersebut dimulai dari para walisongo berusaha meluruskan kepercayaan yang ada pada masyarakat Jawa saat itu tentang pemujaan roh yang dalam Agama Islam dinilai musyrik. Agar tidak bersinggungan dengan tradisi tersebut, maka para wali tidak menghapuskan adat tersebut, melainkan menyelaraskan dan mengisinya dengan ajaran Islam dengan pembacaan ayat suci Al Qur’an, Tahlil dan Doa. Singkat kata, Nyadran dipahami sebagai bentuk hubungan antara leluhur dengan sesama manusia dan dengan Tuhan.

Perspektif yang dimunculkan oleh dua pandangan warga tersebut menghasilkan opini yang berbeda. Hal itu yang menyebabkan adanya variasi pembudayaan Nyadran yang sudah dilakukan secara turun temurun sampai era modernisasi ini sudah ditemukan perbedaannya secara siginifikan. Hal ini disimpulkan  bahwa cara penerapan adat Nyadran itu bisa dilakukan oleh kalangan masyarakat tertentu yang memiliki tujuan dengan mengungkapkan rasa syukur atas rezeki dari Sang Pencipta, salah satunya terkait dari hasil laut berupa kupang yang sudah sangat melegenda menjadi makanan khas Sidoarjo saat sampai saat ini. Dalam penguatan opini yang diperspektifkan di atas telah menggambarkan juga bagaimana keharmonisan masyarakat Desa Balongdowo melalui adat tersebut bisa memberikan pengaruh yang cukup besar dalam perkembangan peradaban masyarakat di era sekarang. Sehingga hal tersebut sangat bermanfaat sekali dalam keberlangsungan kehidupan masyarakat Sidoarjo pada umumnya.

Imbas dari pelaksanaan adat ini telah menuai berbagai bentuk penyikapan oleh masyarakat tersebut, yakni pertama,  sebagai bentuk penghormatan terhadap leluhur nenek moyang dengan cara mendoakan sesuai kepercayaannya. Kedua perspektif ini masih tetap dilakukan oleh kepercayaan masyarakat hanya semata mengharap keberkahan dari sang pencipta melalui cara yang berbeda. “Dan perlu diketahui bahwa Nyadran ini selalu dilaksanakan pada hari ke - 10 Bulan Sya’ban di setiap tahun atau saat datangnya bulan Sya’ban,” pungkas Pak Johan.

Terkait dengan perkembangan adat Nyadran ini bisa memberikan dampak secara terus menerus dan selama hal tersebut bermanfaat maka akan menjadi suatu kebiasaan yang bisa menghidupkan mata pencaharian masyarakat sekitar dalam menstabilkan kebutuhan hidup keluarga dan sekaligus bisa membantu roda ekonomi masyarakat sekitar agar bisa menopang fluktuatif ekonomi saat ini, apalagi saat ini masih dalam transisi pandemi covid-19 sehingga hal ini tentunya sangat bermanfaat bagi kelangsungan hidup masyarakat Sidoarjo pada umumnya. Selain itu, pengaruh dari adat ini juga turut membantu mempromosikan budaya khas Sidoarjo ke para pelancong lokal maupun mancanegara melalui media digital (sosial media: FB, IG, YouTube, Twitter, dll) sehingga semakin dikenal luas oleh masyarakat Indonesia bahkan masyarakat Internasional bahwa Sidoarjo memiliki adat yang unik tetapi sangat berpengaruh terhadap keberlangsungan ekonomi masyarakat dalam kestabilan kebutuhan sehari-hari melalui suguhan kuliner Kupang yang sangat lezat untuk disantap.

Dengan adanya eksistensi adat Nyadran ini dapat menjadi bukti peran penting dari Pemerintah Kabupaten Sidoarjo yang dikelola langsung oleh Dinas Pariwisata setempat yang telah menjadikannya sebuah kearifan lokal yang sangat khas dan menjaga keaslian adat tersebut sehingga masyarakat luar Sidoarjo akan tahu bahwa hal ini dapat mengambil nilai esensial yakni ternyata adat tersebut membawa keberuntungan atau rezeki yang melimpah serta dapat membantu perekonomian masyarakat di era modernisasi sekarang. Dan satu esensi lainnya lagi yaitu melatih masyarakat untuk selalu bersyukur atas karunia dan rezeki yang diberikan oleh Allah SWT melalui ikhtiar-ikhtiar yang nyata melalui penjualan kuliner Kupang sebagai salah satu hasil laut yang khas disuguhkan, dan ini akan menjadi media budaya yang bersifat mendidik karakter masyarakat agar selalu bersyukur dan menjaga alam sekitarnya bahwa hal itu juga adalah hasil ciptaan Allah yang sangat bermanfaat bagi kelangsungan hidup masyarakat secara terus menerus.

Semoga dengan munculnya perspektif ini bisa menjadikan referensi yang penting bagi setiap individu untuk terus menjaga sumber daya alam, terutama hasil laut dan tetap mempertahankan bagaimana cara menumbuhkan roda ekonomi jualan kuliner Kupang yang sebenarnya itu berasal dari adat Nyadran tersebut.

Bagikan artikel ini :

(0) Komentar

Silakan login untuk dapat berkomentar!

Artikel Lainnya

Guru Tamu ( Edisi Kesehatan di Masa Pubertas )
PRESPEKTIF MAHASISWA TERHADAP BAHASA INDONESI
Penggerak Soloraya Bergerak Untuk Berdampak
MELATIH KEMAMPUAN BERPIKIR KRITIS SISWA MELALUI MODEL PEMBELAJARAN PBL DENGAN MIND MAPING DALAM MENENTUKAN ISI INFORMASI TEKS DESKRIPSI
Document