Home

Donasi Login Register
Artikel
Mohammad Rizky Satria
pada 22 October 2022 | Kelas Kemerdekaan

Tantangan untuk Merdeka: Refleksi bagi Guru

Kemerdekaan sering dimaknai sebagai sesuatu yang perlu diperjuangan, tapi apakah kita benar-benar menginginkannya?

Setidaknya seratus tahun yang lalu sewaktu Indonesia masih dijajah Belanda, para kaum pergerakan masih bersilang pendapat mengenai apakah Indonesia sudah mampu merdeka atau setidaknya memiliki otonomi bagi dirinya sendiri dari Kerajaan Belanda. Sebagian berpendapat jika “belum saatnya” Indonesia merdeka karena belum mampu mengatur dirinya sendiri sebagai sebuah negara. Sementara sebagian yang lain dengan lantang menyerukan kemerdekaan penuh dengan keyakinan bahwa kemerdekaan dengan sendirinya akan memberikan “ruang untuk berdaya”.

Dalam konteks dunia pendidikan saat ini kita mengalami hal yang serupa. Kampanye Merdeka Belajar dari kementerian pendidikan membuat pendidik dan satuan pendidikan menghadapi “tantangan untuk merdeka”. Ya, tantangan, karena bukankah lebih mudah menerima perintah dan tinggal menjalankannya, alih-alih harus memerintah diri sendiri dan mencari cara secara mandiri?

Tantangan kemerdekaan ini dimaknai secara beragam oleh kalangan pendidik dan satuan pendidikan. Ada yang melihatnya sebagai sebuah hal yang membingungkan dan kemudian mempertanyakan seperangkat kebijakan yang melingkupinya. Tapi ada juga yang melihatnya sebagai sebuah kesempatan untuk berkembang. Sebuah hal yang meski awalnya tidak mudah, pasti akan berdampak baik karena bisa memberdayakan.

Dalam konteks sekolah, semangat Merdeka Belajar yang kini menjiwai prinsip pembelajaran terwujud dalam “skema fleksibilitas” yang sangat luas. Melalui kurikulum merdeka, sekolah memiliki ruang untuk merancang kurikulum di tingkat satuan pendidikan yang lebih kontekstual. Sementara guru, sebagai ujung tombak di lapangan, memiliki ruang untuk mengembangkan tujuan pembelajaran, aktivitas, serta asesmen yang lebih sesuai dengan kondisi dan kebutuhan murid di kelasnya masing-masing. Dampaknya, istilah guru sebagai pelaksana kurikulum sudah semakin tidak relevan karena seperti sebagaimana sejatinya, guru adalah seorang “pengembang kurikulum” di lapangan. Oleh karenanya, kemampuan menjalankan instruksi kini tidak lagi cukup bagi guru karena sebagai pengembang kurikulum guru perlu memiliki kompetensi “kemandirian” dan “kreativitas”. Namun, alih-alih bekerja secara mandiri, guru juga perlu mengembangkan kompetensi “gotong-royong” untuk saling berkolaborasi, serta “berkebinekaan global” dan “bernalar kritis” untuk memperluas dan memperdalam cakrawala berpikirnya. Seluruh kompetensi tersebut kemudian perlu didasari oleh kompetensi “beriman, bertaqwa kepada Tuhan YME, dan berakhlak mulia” untuk menggenapkan aspek material dan spiritual sehingga mengutuhkan kompetensi dirinya.

Dalam konteks ruang kelas, kemerdekaan yang dimiliki guru akan menular kepada murid. Guru dengan kompetensi diri yang utuh akan menjadi sosok yang ajeg dalam menjadikan ruang kelasnya sebagai “ruang belajar yang tidak terbatas tembok kelas dan tembok sekolah”. Guru yang Merdeka Belajar akan memberikan juga ruang kemerdekaan bagi muridnya. Semangat mengajar berkembang menjadi semangat “membelajarkan”. Dampaknya, guru perlu membuka jendela eksplorasi kemampuan yang selama ini tertutup dengan rapat: “Merefleksikan dasar-dasar pendidikan menurut Ki Hadjar Dewantara serta nilai dan peran diri sebagai guru penggerak perubahan, mengembangkan budaya positif di kelas, diferensiasi pembelajaran, kompetensi sosial emosional, dan komunikasi yang memberdayakan, serta menerapkan pengambilan keputusan yang bertanggung jawab, mengoptimalkan sumber daya yang tersedia, dan merancang program yang berdampak kepada murid”. Seluruh upaya itu ditujukan untuk mengasah daya belajar murid, mejadikan mereka pelajar sepanjang hayat yang mampu meregulasi dirinya sendiri, menjadi self-regulated learner.

Kembali ke persoalan tantangan untuk merdeka, kesimpulannya kemerdekaan berdampak pada keharusan kita untuk “mengambil kendali” atas diri kita sendiri, yang membuat kita harus berupaya lebih dan bahkan harus mengalami proses yang lebih melelahkan daripada sebelumnya. Pertanyaan besarnya, apakah kita siap untuk merdeka?

Bagikan artikel ini :

(0) Komentar

Silakan login untuk dapat berkomentar!

Artikel Lainnya

guru inovatif dan inspiratif
Memahami Pentingnya Transisi PAUD Ke SD
PRAKTIK BAIK METODE ATAP “PAK KARMAN” (PEMBELAJARAN ASYIK DENGAN KARTU PERMAINAN) KARTU : LINIMASA
SIK ASIK BELAJAR BAHASA INGGRIS
Document